A. Latar Belakang Sejarah
Civil Society yang berasal dari peradaban Barat, sudah lama tidak dibicarakan. Ia kembali menggema ketika gerakan solidaritas di Polandia melancarkan perlawanan terhadap dominasi pemerintahan absolut-militer.
Dalam perlawanan tersebut, gerakan solidaritas menggunakan jargon Civil Society sebagai dasar dan arah perjuangan melawan otoriterianisme negara. Maka pola perjuangan ini melebar kebeberapa negara Eropa Timur (Chekoslovakia). Keberhasilan dari gerakan tersebut menjadi pemicu ramainya perbincangan Civil Society diberbagai negara, termasuk Indonesia.[1]
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa Civil Society berasal dari Eropa Barat, tumbuh dan berkembang sejalan dengan kondisi sosio kulturalnya. Civil Society jika dipahami sepintas merupakan format kehidupan alternatif yang mengedepankan semangat demokrasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Hal ini dapat berlaku ketika negara dan pemerintah tidak bisa demokrasi dan hak-hak asasi manusia dalam menjalankan roda pemerintahannya. Sehingga masyarakat madani mampu mengadakan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, dan pada akhirnya cita-cita konsep hidup yang demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia dapat tercapai.[2]
Bagaimana prospek Civil Society di Indonesia ? Menjawab pertanyaan ini dapat dikembalikan pada era Orde Lama dan era Orde Baru. Kedua periode kekuasaan ini banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran demokrasi dan hak-hak asasi manusia -Apakah pembelengguan pers atau cendekiawan yang merupakan lembaga kontrol. Secara umum pemikiran muslim ini bertolak dari pandangan dasar bahwa misi utama Islam adalah kemanusiaan (= rahmatan lil a’lamin). Islam harus menjadi satu kekuatan alternatif untuk pemecahan masalah-masalah kemanusiaan di berbagai bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya. Demikian juga gerakan-gerakan Islam (LSM) harus diorientasikan pada perubahan sosial ekonomi dan politik bagi terciptanya masyarakat demokratis.[3]
B. Pengertian & Penegakan Civil Society
Bahwa Civil Society lahir dari bumi Eropa, mempunyai karakter daerah setempat, kemudian menyebar ke wilayah-wilayah lain tentu sesuai dengan idealisme sosio masyarakatnya, oleh sebab itu ia mempunyai pengertian yang “berbeda” sesuai dengan problem masyarakatnya. Dalam hal ini akan diberikan pengertian Civil Society sebagai berikut : Civil Society adalah sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari negara, suatu ruang publik yang mampu mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga negara dan mampu mengendalikan diri dan independen, secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam Civil Society ini.[4]
Pernyataan ini dikemukakan oleh Han Sung-Joo dari Korea Selatan, maka terdapat empat ciri dan prasyarat terbentuknya Civil Society :
- Diakui dan dilindunginya hak-hak individu dan kemerdekaan berserikat serta mandiri dari negara.
- Adanya ruang publik yang memberikan kebebasan bagi siapapun dalam mengaktualisasikan isu-isu politik.
- Adanya gerakan-gerakan kemasyarakatan yang berdasarkan pada nilai-nilai budaya tertentu.
- Terdapat kelompok inti diantara kelompok pertengahan yang mengakar dalam masyarakat yang menggerakkan masyarakat dan melakukan modernisasi sosial ekonomi.[5] Muhammad AS Hikam memberikan pengertian Civil Society adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain : kesukarelaan (Voluntary), keswasembadaan (Self Generating) dan keswadayaan (Self Supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan tinggi dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya.[6]
Di Indonesia, wacana Civil Society mengalami penerjemahan yang berbeda-beda dengan sudut pandang yang berbeda pula yaitu masyarakat madani, masyarakat sipil, masyarakat kwargaan. Berbagai pengistilahan tentang wacana Civil Society tersebut, secara substansial bermuara pada perlunya penguatan masyarakat (warga) dalam sebuah komunitas negara untuk mengimbangi dan mampu mengontrol kebijakan negara (Policy of State) yang cenderung memposisikan warga negara sebagai subyek yang lemah. Komponen penguatan masyarakat adalah adanya lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang mandiri dihadapan negara, terdapat ruang publik untuk mengemukakan pendapat, menguatnya posisi kelas menengah dalam komunitas masyarakat, adanya independensi pers sebagai bagian dari Social Control, membudayakan kerangka hidup yang domokratis, toleran serta memiliki peradaban yang tinggi.[7]
Mencermati makna Civil Society tersebut, maka didalamnya terkandung karakter-karakter, yakni Free Public Sphere (ruang publik yang bebas) demokratis, toleran, pluralisme dan Social Justice (keadilan sosial). Di sampaing mempunyai karakter, Civil Society memerlukan pilar penegak yaitu lembaga swadaya masyarakat, pers supermasi hukum dan perguruan tinggi. Hubungan antara Civil Society dengan demokrasi (demokratisasi) bagaikan dua sisi mata uang, keduanya bersifat ko-eksistensi. Hanya dalam Civil Society yang kuatlah demokrasi dapat ditegakkan dengan baik dan hanya dalam suasana demokrasilah Civil Society dapat berkembang secara wajar.[8]
C. Civil Society Vs Islam
Civil Society sebagaimana diuraikan di depan berarti wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain kesukarelaan (Voluntary) keswasembadaan (Self Generating) dan keswadayaan (Self Supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Dalam Civil Society terkandung karakteristik antara lain :
- Free Public Sphere, adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana mengemukakan pendapat.
- Demokratis, adalah satu entitas yang menjadi penegak wacana Civil Society, dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya.
- Toleran, adalah pengembangan dari Civil Society untuk menunjukkan aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
- Pluralisme, adalah pentalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban, bahkan pluralisme merupakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and balance).
- Keadilan sosial, adalah untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara dalam segala aspek kehidupan.[9]
Civil Society pada satu pihak berarti juga masyarakat madani, yang terinspirasi oleh kehidupan Rasul Muhammad di kota Madinah.Untuk mendukung pernyataan ini, Azyumardi Azra dengan mengikut sertakan pemikir cendekiawan dan pengamat politik muslim, tentang kesesuian ajaran-ajaran Islam dengan masyarakat madani (Civil Society).
Pada intinya disepakati bahwa Islam mendorong penciptaan masyarakat madani. Nabi Muhammad sendiri telah mencontohkan secara aktual perwujudan masyarakat madani itu, ketika mendirikan dan memimpin negara Madinah. Fakta ini tidak hanya dalam piagam (konstitusi) Madinah, namun juga pergantian nama dari Yastrib menjadi Madinah, yang tentu saja merupakan salah satu Cognote istilah “Madani”.[10]
Demikian juga kesamaan arti antara Civil Society dengan masyarakat madani, yang di klaim oleh kelompok Islam modernis di Indonesia.[11] Lebih lanjut dikatakan masyarakat madani telah muncul sejak jaman Nabi Saw. dan diyakini mampu melenyapkan sekat-sekat primordial yang pada waktu itu sangat tidak mungkin untuk dihilangkan. Masyarakat yang dibentuk oleh Nabi merupakan manivestasi dari keinginan untuk menghargai perbedaan kemanusiaan. Bahkan kelompok Al-Washliyah menganggap konsep “masyarakat Madani” jauh lebih unggul dibanding dengan Civil Society yang sekuler karena konsep Barat. Sementara masyarakat madani mengandung makna dan sifat spiritual.[12]
Pada konsep masyarakat madani yang merujuk negara – kota Madinah tentu akan menkritisi, bagaimana dasar-dasar konstitusi dan aplikasi dari tatanan negara – kota Madinah tersebut. Sebagai dasar alasan adalah “Dustur al-Madinah” (Madinah Charter). Juwairiyah Dahlan[13] dalam meneliti isi Piagam Madinah telah menemukan kata ummah untuk menyebutkan semua komponen masyarakat yang ada di kota Madinah dan sekitarnya. Oleh karena itu kata ummah ini memiliki arti, “suatu ikatan dalam komunitas keagamaan, namun terminologi ummah dalam piagam ini mempunyai pengertian yang lebih luas lagi, mencakup seluruh wilayah Madinah, mengintegrasikan warga Anshor, Muhajirin dan kaum Yahudi serta kelompok-kelompok lain dalam satu ikatan persatuan dan perdamaian serta keselarasan hidup. Dari sinilah tampak kesamaan hak dan kewajiban bagi semua komunitas masyarakat Madinah dalam membangun dan mempertahankan ancaman dari luar. Pada pihak yang lain negara memberikan kebebasan ruang publik sementara masyarakat mentaati tata aturan (Low and Order) sehingga tercipta check and balance.
Pada kesempatan lain ada dua sandaran normatif, al-Qur’an[14] dan hadits Nabi (pidato Haji Wada’), yang secara jelas menunjukkan kesamaan “derajat” bagi semua manusia, kecuali taqwa pada tatanan sebuah masyarakat – negara seluruh komponen bangsa baik warga negaranya maupun pejabatnya mempunyai kesamaan di muka hukum, mempunyai tugas dan peran masing-masing sesuai dengan profesinya, tidak ada tekan-menekan antara satu dengan yang lain saling mengisi antara kekurangan dan kelebihan masing-masing. Tidak saling mencurigai, mempunyai kesamaan tujuan yaitu adil dan makmur.
Paradigma dengan wacana masyarakat Madani ini dilatarbelakangi oleh konsep kota ilahi, kota peradaban, atau masyarakat kota. Disisi lain pemaknaan masyarakat Madani yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib al-Attas, ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia, secara difinitif berarti 2 komponen makna, yaitu masyarakat kota dan masyarakat yang beradab. Dengan membandingkan karakteristik-karakteristik Civil Society pada tatanan masyarakat modern dengan masyarakat yang dibangun dan dikomandani oleh Rasul di Madinah, “nota bene berdasarkan Islam”, adalah mempunyai kesamaan roh atau jiwa egalitarian serta mempunyai kesamaan tujuan yaitu kesejahteraan sosial. Untuk kasus Indonesia, Civil Society cenderung dipegangi oleh muslim tradisional, sementara kelompok modernis menggunakan istilah masyarakat madani.
D. Civil Society di Indonesia
Mengawali wacana Civil Society di Indonesia, dapat merujuk pada pandangan Azyumardi Azra, Bagaimana prospek pertumbuhan masyarakat madani (al-Mujtama’ al-Madani) di Indonesia ? Apakah masyarakat madani bisa menjadi karakter terpenting dari “Indonesia Baru” yang sedang diusahakan membangunnya dalam masa reformasi ini ?. Rupanya Azra melihat Indonesia secara realistis terhadap penduduknya yang mayoritas muslim. Sehingga yang menjadi wacana pemberdayaannya adalah masyarakat Islam.
Mengkritisi sejarah perkembangan kepolitikan di Indonesia, penggal kedua kekuasaan adalah lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966 merupakan titik awal lahirnya Orde Baru, dengan Jendral Suharto sebagai pemegang Amanat SP ini dan dikukuhkan menjadi Pressiden Indonesia oleh MPRS Maret 1968.[15] Persoalan utama yang harus ditata oleh Orde Baru adalah perekonomian dan stabilitas politik, perbaikan perekonomian diorientasikan “keluar” sementara format politik Orba ini mencoba menciptakan keseimbangan antara konflik dan konsensus.[16] Dalam perjalanan pemerintahan Orba telah terjadi dedemokratisasi dan ekonomi “pembangunan”
Perkenalan istilah Civil Society di Indonesia di import oleh Arief Budiman dari Australia, kemudian berkembang menjadi wacana di seminar-seminar nasional di tahun-tahun 80-an dan 90-an. Kepolitikan Orde Baru oleh Abd Aziz Thaba diklasifikasikan dalam tiga kategori, ketika dihadapkan dengan kebijakan Islam.
Pertama : hubungan yang bersifat antagonistik (1966-1981), kedua; hubungan yang bersifat resiprokal-kritis (1982-1985) dan ketiga; hubungan yang bersifat akomodatif.[17]
Penilaian pemerintahan Orba oleh banyak intelektual dikatakan otoriter[18], untuk itu diperlukan pemikiran-pemikiran kritis terhadap kecenderungan politik Orde Baru – Khususnya LSM-LSM. Kalangan intelektual ini, yang kerap disebut “Muslim Transformis” melihat politik Orde Baru dari sudut pandang pemikiran kritis dan teori ketergantungan, dan pada waktu yang sama mengagendakan pemberdayaan masyarakat untuk bisa terlibat dalam proses-proses politik dan kenegaraan. Perkembangan gagasan Civil Society di kalangan muslim berlangsung ketika orientasi baru gerakan Islam yang berpihak pada pemberdayaan masyarakat tengah memperoleh tempat yang kuat. Karena itu mereka menerima gagasan Civil Society sebagai bagian dari agenda perjuangan, untuk mengatasi masalah-masalah sosial-politik yang dihadapi oleh muslim Indonesia.[19]
Sementara itu Azra menggambarkan, sejak paruh kedua dekade 1980-an terjadi perubahan-perubahan politik – periode ini oleh Thaba dikategorikan hubungan antara Islam dan negara yang bersifat akomodatif – yang signifikan, yakni sebagai pendorong proses demokratisasi dan perkembangan masyarakat madani. Kalangan muslim yang sebelumnya berada pada margin politik, mulai masuk ke ‘tengah’ kekuasaan. Pada saat yang sama, proses demokratisasi kelihatannya menemukan momentum baru, beberapa katup bagi ekspresi dan eksperimen demokrasi yang selama ini tertutup, mulai terbuka.[20] Pada perjalanan berikutnya, Pasca Mei 1998, bukti perubahan dari politik represi dan regimentasi yang menandai era Suharto berakhir, digantikan dengan politik yang lebih bebas dan lebih demokratis. Era politik asas tunggal Pancasila telah tamat, partai-partaipun bermunculan dengan menggunakan asas lain termasuk asas agama.[21]
Percepatan sosialisasi wacanan Civil Society di Indonesia disebabkan beberapa faktor :
- Gencarnya penggunaan istilah Civil Society oleh berbagai kalangan, baik intelektual, aktivis LSM, maupun kalangan pemerintah
- Banyak publikasi, baik buku, jurnal, majalah atau surat kabar.
- Semakin terbukanya kebebasan menyampaikan pendapat, terutama sesudah runtuhnya Orba.
Tampaknya yang mendesak dilakukan terhadap tokoh-tokoh masyarakat itu adalah memberikan suatu pemahaman yang benar tentang Civil Society.[22]
Dalam penelitian yang dilakukan oleh kelompok Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, potensi Civil Society di kalangan muslim perkotaan, ada tiga varian kelompok yang memberikan respon terhadap Civil Society. Pertama, kelompok Tradisionalis (NU), memberikan respon ‘positif’ seperti yang dikatakan oleh KH. Hasyim Muzadi (Ketua PBNU) “jika Indonesia ingin menjadi modern, maka Ormas-ormas Islam harus menuju satu titik, yaitu Civil Society.[23]
Kedua, respon dari Muhammadiyah, oke-oke saja karena Civil Society merupakan bagian dari modernitas, sejalan dengan cita-cita Muhammadiyah. Ketiga, respon kalangan modernis “garis keras” atau yang biasa disebut modernis formalis, mereka dengan tegas menolak konsep Civil Society hanya karena bersumber dari Barat. Fuad Amsari (ICMI Surabaya) berkomentar “Konsep-konsep yang datang dari Barat harus diwaspadai. Pada umumnya konsep-konsep ini bukan hanya tidak sejalan dengan Islam, tetapi juga cenderung merusak sendi-sendi Islam. Konsep Gender, misalnya, …. Dalam Islam, sebuah negara yang dipimpin oleh perempuan, maka negara itu akan menuai kehancuran”.
Keempat, respon dari M. Abdurrahman (Persatuan Islam) bahwa Civil Society yang dipahami “masyarakat”, dengan tegas ia menyatakan bahwa persis secara organisatoris, sudah merealisasikan konsep Civil Society (musyawarah) dalam pemilihan ketua umum dan pengurusnya. [24]
Oleh peneliti disimpulkan bahwa pemahaman Civil-Society oleh kalangan muslim Indonesia belumlah komprehensif dan menyeluruh sehingga perlu adanya intensitas-sosialisasi. Lebih jauh dikatakan, secara umum mereka memahami Civil Society melalui bacaan mass media dan seminar-seminar. Untuk itu informasi Civil Society yang mereka serap tidak lengkap, bahkan tergolong terburu-buru dan terkesan sepotong-sepotong.[25]
Memperhatikan respons tokoh-tokoh masyarakat terhadap konsep Civil Society, tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa organisasi-organisasi sosial keagamaan memiliki potensi besar dalam pengembangan Civil Society di Indonesia. Hal ini karena tokoh-tokoh masyarakat tersebut umumnya cukup akomodatif terhadap ide-ide yang terkandung dalam konsep Civil Society.
Lain halnya, Azra memberikan komentar miring pasca lengsernya Suharto, mulai terbukanya “Kran Demokrasi”, sehingga melahirkan banyak partai, tidak harus dan identik dengan demokratisasi-lebih didorong oleh Euforia politik setelah tertindas selama lebih 30 tahun. Hampir seluruh partai tidak menawarkan hakekat demokrasi dan pemulihan ekonomi, tapi mereka terlibat dalam polemik dan kontra versi karena egoisme dan provinsialisme politik para elite. Sikap merasa benar sendiri, kurang toleran, kurang menghormati visi dan, persepsi politik pihak lain. Kenyataan ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Civility (keadaban) yang merupakan karakter utama masyarakat madani – lebih lanjut Azra mengungkapkan sampai dengan tahun 1999 peristiwa-peristiwa kerusuhan yang terjadi di Ambon, Sambas, Irian Jaya dan Aceh merupakan bukti Viability dan ketidakpuasan politik penguasa sebelumnya. [26]
Dari kajian-kajian tersebut di atas tentang Civil Society masih sebatas wacana, secara aplikatip masih harus menunggu waktu (entah kapan) dapat berpijak di bumi nusantara ini. Memang satu pihak dalam internal ormas keagamaan sebagian karakter Civil Society ini sudah teraplikasikan, misalnya musyawarah dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Namun ketika berhadapan dengan negara maka Civil Society masih menjadi renungan kita bersama.
Kesimpulan
Dari uraian makalah tersebut maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Bahwa Civil Society berasal dari Eropa Barat dan menyebar ke penjuru negara-negara lain dengan respon sosial politik yang berbeda, namun mempunyai kesamaan tujuan yaitu pemberdayaan masyarakat.
- Pengertian Civil Society adalah sebuah ruang publik yang memberikan kebebasan kepada individu, kelompok untuk berekspresi, menghormati pluralisme, terjalinnya keseimbangan antara “masyarakat” dan negara, sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
- Hubungan Civil Society dengan Islam, bahwa tujuan keduanya adalah mencapai “keseimbangan dan kedamaian hidup” bernegara (bermasyarakat). Hal ini diperlukan saling pengertian antara negara dan masyarakat mengerti hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing.
- Prospek Civil Society di Indonesia, kemungkinan kecil terlaksana, jika usaha-usaha perbaikan dalam segala lini kehidupan tidak ditata secara benar, sebab secara mendasar Civil Society akan jalan, jika negara dalam keadaan “baik”.
Daftar Kepustakaan
Ahmad Baso, Islam, Civil Society dan Ideologi, Masyarakat Madani : Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Wacana Islam Indonesia, Bandung, Pustaka Hidayah dan Lakpesdam NU, 1999.
Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, dkk, Islam dan Civil Society Pandangan Muslim Indonesia.
TIM ICCE UIN, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta : ICCE UIN, 2003.
Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000.
Abdul Rozak, dkk, Pendidikan Kewargaan, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta : Prenada Media, 2004.
Louise Marlow, Masyarakat Egaliter Visi Islam, Bandung : Mizan, 1999.
Mohammad As Hikam, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta : LP3ES, 1996.
Dawam Raharjo, Masyarakat Madani : Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, Jakarta : LSAF, 1999.
[2] Tim ICCE UIN, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta : ICCe UIN, 2003), 256.
[3] Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, dkk, Islam…, 88-9.
[4] Tim ICCE UIN, Pendidikan Kewargaan : Demokrasi HAM dan Masyarakat Modern (Jakarta : IAIN Jakarta Press, cet. I, 2000), 138.
[6] Muhammad AS. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta: LP3ES, 1996), 3.
[7] Tim ICCE UIN, Pendidikan…, 140-142.
[8] Tim ICCE UIN, Pendidikan…, 147-151.
[9] TIM ICCE UIN, Demokrasi…, 247-50.
[10] Azyumardi Azra, Meunuju Masyarakat Madani, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000), 3.
[11] Hendro Prasetyo, Ali Munhanif dkk, Islam dan Civil Society…, 23.
[13] Juwairiyah Dahlan, “Piagam Madinah dan Konsep Ummah”, jurnal IAIN Sunan Ampel, xv (April-Juni, 1999), 35-6.
[14] Q.S. Al Hujarat (49) : 13 untuk mendalami ayat ini dapat dilihat; Louise Marlow, Masyarakat Egaliter Visi Islam, ter. Nina Nurmila (Bandung : Mizan, 1999)
[15] Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1966), 185
[16] Untuk membicarakan Kebijakan Ekonomi & Politik Orde Baru, baca Ibid, hal 185 – dan seterusnya.
[17] Tentang uraian ketiga pembagian ini dapat dibaca pada ibid dari hal. 240 dst
[18] Penilaian Tentang Politik Otoritarianisme Orba ini diantaranya bisa dibaca dalam Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Orde Baru (Jakarta : LP3ES, 1989)
[19] Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, dkk, Islam …, 78
[20] Azyumardi Azra, Menuju …,v
[22] Hendro Prasetyo,Aali Munhanif, dkk, Islam …, 283-4
[26] Azyumardi Azra, Menuju …, vi